oleh Jalaluddin Rakhmat
Menurut para sufi, manusia adalah mahluk
Allah yang paling sempurna di
dinia ini. Hal
ini, seperti yang
dikatakan Ibnu'Arabi manusia bukan saja karena merupakan khalifah Allah di
bumi yang dijadikan sesuai dengan citra-Nya, tetapi
juga karena ia merupakan mazhaz (penampakan atau tempat kenyataan) asma dan sifat Allah yang paling
lengkap dan menyeluruh.
Allah menjadikan Adam
(manusia) sesuai dengan
citra-Nya. Setelah jasad Adam dijadikan dari alam jisim, kemudian
Allah meniupkan ruh-Nya ke dalam jasad Adam. Allah berfirman:
Maka apabila Aku
telah menyempurnakan kejadiannya dan Aku
tiupkan kepadanya ruh-Ku (QS. 15: 29)
Jadi jasad manusia, menurut para sufi, hanyalah alat, perkakas
atau kendaraan bagi
rohani dalam melakukan
aktivitasnya. Manusia pada hakekatnya bukanlah jasad lahir yang
diciptakan dari unsur-unsur
materi, akan tetapi rohani yang berada dalam dirinya yang selalu mempergunakan
tugasnya.
Karena itu, pembahasan tentang jasad tidak
banyak dilakukan para sufi
dibandingkan pembahasan mereka tentang ruh (al-ruh), jiwa (al-nafs), akal
(al-'aql) dan hati nurani atau
jantung (al-qalb).
RUH DAN JIWA (AL-RUH DAN AL-NAFS)
Banyak ulama yang
menyamakan pengertian antara ruh dan jasad. Ruh berasal dari alam arwah dan
memerintah dan menggunakan jasad sebagai
alatnya. Sedangkan jasad
berasal dari alam ciptaan, yang
dijadikan dari unsur materi. Tetapi para
ahli sufi membedakan ruh
dan jiwa. Ruh berasal dari tabiat Ilahi dan cenderung kembali ke asal
semula. Ia selalu
dinisbahkan
kepada Allah dan tetap berada dalam keadaan suci.
Karena ruh bersifat kerohanian dan selalu suci, maka
setelah ditiup Allah dan berada dalam jasad, ia
tetap suci. Ruh di
dalam diri manusia
berfungsi sebagai sumber moral yang baik dan mulia. Jika ruh merupakan
sumber akhlak yang
mulia dan terpuji, maka
lain halaya dengan
jiwa. Jiwa adalah sumber akhlak tercela, al-Farabi, Ibn Sina
dan al-Ghazali membagi
jiwa pada: jiwa
nabati (tumbuh-tumbuhan), jiwa
hewani
(binatang) dan jiwa insani.
Jiwa nabati adalah kesempurnaan awal bagi
benda alami yang organis
dari segi makan, tumbuh dan melahirkan. Adapun jiwa hewani, disamping
memiliki daya makan
untuk tumbuh dan melahirkan, juga
memiliki daya untuk mengetahui hal-hal yang kecil dan
daya merasa, sedangkan
jiwa insani mempunyai kelebihan dari segi daya berfikir
(al-nafs-al-nathiqah).
Daya jiwa yang
berfikir
(al-nafs-al-nathiqah atau al-nafs-al-insaniyah).
Inilah, menurut para filsuf dan sufi, yang
merupakan hakekat atau pribadi
manusia. Sehingga dengan hakekat, ia
dapat mengetahui hal-hal
yang umum dan
yang khusus, Dzatnya dan Penciptaannya.
Karena pada diri
manusia tidak hanya memiliki jiwa insani (berpikir), tetapi
juga jiwa nabati dan
hewani, maka jiwa (nafs)
manusia mejadi pusat tempat tertumpuknya sifat-sifat yang tercela
pada manusia. Itulah
sebabnya jiwa manusia mempunyai sifat yang beraneka sesuai
dengan keadaannya.
Apabila jiwa menyerah
dan patuh pada
kemauan syahwat dan memperturutkan ajakan syaithan, yang
memang pada jiwa
itu sendiri ada sifat
kebinatangan, maka ia disebut jiwa yang menyuruh berbuat jahat.
Firman Allah, "Sesungguhnya jiwa
yang demikian itu selalu menyuruh berbuat jahat." (QS. 12: 53)
Apabila jiwa selalu
dapat menentang dan melawan sifat-sifat tercela, maka ia disebut jiwa
pencela, sebab ia selalu mencela manusia
yang melakukan keburukan dan yang teledor dan lalai berbakti
kepada Allah. Hal ini ditegaskan oleh-Nya,
"Dan Aku bersumpah dengan
jiwa yang selalu mencela." (QS. 75:2).
Tetapi apabila jiwa
dapat terhindar dari semua
sifat-sifat yang tercela, maka ia berubah jadi jiwa yang tenang
(al-nafs al-muthmainnah).
Dalam hal ini
Allah menegaskan, "Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu
dengan rasa puas lagi diridhoi, dan masuklah kepada hamba-hamba-Ku, dan
masuklah ke dalam Surga-Ku." (QS. 89:27-30)
Jadi, jiwa mempunyai tiga buah sifat, yaitu jiwa
yang telah menjadi tumpukan
sifat-sifat yang tercela, jiwa yang telah melakukan perlawanan
pada sifat-sifat tercela, dan jiwa yang telah
mencapai tingkat kesucian,
ketenangan dan ketentraman, yaitu jiwa muthmainnah. Dan jiwa muthmainnah inilah
yang telah dijamin Allah langsung masuk surga.
Jiwa muthmainnah adalah
jiwa yang selalu berhubungan dengan ruh. Ruh bersifat Ketuhanan
sebagai sumber moral
mulia dan terpuji, dan
ia hanya mempunyai
satu sifat, yaitu suci. Sedangkan jiwa mempunyai beberapa
sifat yang ambivalen. Allah sampaikan, "Demi jiwa
serta kesempurnaannya, Allah mengilhamkan jiwa pada keburukan dan
ketaqwaan." (QS.91:7-8). Artinya, dalam
jiwa terdapat potensi buruk dan
baik, karena
itu jiwa terletak pada perjuangan baik dan buruk.
AKAL
Akal yang dalam bahasa Yunani disebut nous
atau logos atau intelek
(intellect) dalam bahasa Inggris adalah daya berpikir yang terdapat
dalam otak, sedangkan "hati"
adalah daya jiwa (nafs
nathiqah). Daya jiwa
berpikir yang ada pada otak di kepala
disebut akal. Sedangkan yang ada pada hati (jantung) di dada disebut
rasa (dzauq). Karena
itu ada dua
sumber pengetahuan, yaitu pengetahuan
akal (ma'rifat aqliyah)
dan
pengetahuan hati (ma'rifat
qalbiyah). Kalau para
filsuf mengunggulkan pengetahuan akal, para sufi lebih mengunggulkan pengetahuan hati (rasa).
Menurut para filsuf
Islam, akal yang telah mencapai tingkatan tertinggi --akal
perolehan (akal mustafad)--
ia dapat mengetahui kebahagiaan
dan berusaha memperolehnya. Akal yang demikian akan
menjadikan jiwanya kekal
dalam kebahagiaan (sorga). Namun, jika akal yang telah mengenal
kebahagiaan itu berpaling, berarti ia tidak berusaha memperolehnya. Jiwa yang demikian akan kekal dalam kesengsaraan
(neraka).
Adapun akal yang
tidak sempurna dan
tidak mengenal kebahagiaan, maka
menurut al-Farabi, jiwa yang
demikian akan hancur. Sedangkan
menurut para filsuf tidak hancur. Karena kesempurnaan manusia
menurut para filsuf
terletak pada kesempurnaan pengetahuan akal dalam mengetahui dan
memperoleh kebahagiaan yang tertinggi, yaitu
ketika akan sampai
ke
tingkat akal perolehan.
HATI SUKMA (QALB)
Hati atau sukma
terjemahan dari kata
bahasa Arab qalb. Sebenarnya terjemahan yang tepat dari
qalb adalah jantung, bukan hati
atau sukma. Tetapi,
dalam pembahasan ini kita memakai
kata hati sebagaimana yang sudah
biasa. Hati adalah segumpal daging
yang berbentuk bulat panjang dan terletak di dada sebelah kiri. Hati
dalam pengertian ini bukanlah
objek kajian kita di sini, karena hal itu termasuk bidang kedokteran yang
cakupannya bisa lebih
luas, misalnya hati
binatang,
bahkan bangkainya.
Adapun yang dimaksud
hati di sini adalah hati dalam arti yang halus, hati-nurani --daya pikir jiwa
(daya nafs nathiqah) yang ada pada hati, di rongga dada. Dan daya berfikir
itulah yang disebut dengan rasa
(dzauq), yang memperoleh
sumber pengetahuan hati (ma'rifat qalbiyah). Dalam kaitan ini Allah berfirman,
"Mereka mempunyai hati, tetapi
tidak dipergunakan memahaminya."
(QS. 7:1-79).
Dari uraian di
atas, dapat kita ambil kesimpulan sementara, bahwa menurut para filsuf
dan sufi Islam, hakekat manusia itu jiwa yang
berfikir (nafs insaniyah), tetapi mereka berbeda pendapat
pada cara mencapai kesempurnaan
manusia. Bagi para filsuf,
kesempurnaan manusia diperoleh
melalui pengetahuan akal
(ma'rifat aqliyah), sedangkan
para sufi melalui
pengetahuan hati
(ma'rifat qalbiyah). Akal dan hati sama-sama merupakan daya berpikir.
Menurut sufi, hati yang bersifat nurani itulah sebagai wadah atau
sumber ma'rifat --suatu
alat untuk mengetahui hal-hal yang Ilahi. Hal ini hanya dimungkinkan
jika hati telah bersih dari pencemaran
hawa nafsu dengan menempuh fase-fase moral dengan
latihan jiwa, serta menggantikan moral
yang tercela dengan moral yang
terpuji, lewat hidup zuhud yang penuh taqwa,
wara' serta dzikir yang kontinyu, ilmu ladunni
(ilmu Allah) yang memancarkan
sinarnya dalam hati,
sehingga ia dapat menjadi
Sumber atau wadah
ma'rifat, dan akan
mencapai pengenalan Allah Dengan
demikian, poros jalan
sufi ialah moralitas.
Latihan-latihan ruhaniah yang
sesuai dengan tabiat
terpuji adalah sebagai kesehatan hati dan hal ini yang lebih berarti
ketimbang kesehatan jasmani sebab penyakit anggota tubuh luar hanya
akan membuat hilangnya
kehidupan di dunia ini saja, sementara penyakit
hati nurani akan
membuat hilangnya kehidupan yang
abadi. Hati nurani
ini tidak terlepas dari penyakit,
yang kalau dibiarkan
justru akan membuatnya berkembang banyak
dan akan berubah
menjadi hati dhulmani --hati yang
kotor.
Kesempurnaan hakikat manusia (nafs insaniyah) ditentukan oleh hasil
perjuangan antara hati nurani dan hati dhulmani. Inilah yang dimaksud
dengan firman Allah yang artinya,
"Sesungguhnya beruntunglah
orang-orang yang mensucikan jiwanya, dan rugilah orang yang
mengotorinya." (QS. 91:8-9).
Hati nurani
bagaikan cermin, sementara
pengetahuan adalah pantulan gambar
realitas yang terdapat
di dalamnya. Jika cermin hati
nurani tidak bening, hawa nafsunya yang
tumbuh. Sementara ketaatan kepada
Allah serta keterpalingan
dari tuntutan hawa nafsu itulah
yang justru membuat
hati-nurani bersih dan cemerlang
serta mendapatkan limpahan cahaya dari
Allah Swt.
Bagi para sufi, kata al-Ghazali, Allah melimpahkan cahaya pada
dada seseorang, tidaklah karena mempelajarinya, mengkajinya, ataupun
menulis buku, tetapi dengan bersikap asketis
terhadap dunia,
menghindarkan diri dari
hal-hal yang berkaitan dengannya, membebaskan hati
nurani dari berbagai
pesonanya, dan menerima Allah
segenap hati. Dan barangsiapa memiliki Allah niscaya Allah
adalah miliknya. Setiap hikmah muncul dari
hati nurani, dengan keteguhan beribadat, tanpa belajar, tetapi
lewat pancaran cahaya dari ilham Ilahi.
Hati atau sukma dhulmani selalu mempunyai keterkaitan
dengan nafs atau jiwa
nabati dan hewani. Itulah sebabnya ia selalu menggoda manusia untuk
mengikuti hawa nafsunya. Kesempurnaan manusia (nafs nathiqah),
tergantung pada kemampuan hati-nurani dalam pengendalian dan pengontrolan hati
dhulmani.
(Sumber : http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Konteks/Nurani.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar